Agama Hindu atau Agama Bali ???

“Beneh-benehan ngaba raga di Jawa nah Gung, iraga nak maagama Bali, eda engsap ring kawitan, perajini ngastiti bhakti ditu nyen nah (Baik-baik bawa diri di Jawa ya Gung, kita ini beragama Bali, jangan lupa dengan leluhur, rajin-rajin sembahyang disana ya)”. Kira-kira seperti itulah pesan kakek saya ketika berpamitan saat akan merantau ke Jawa pada tahun 2003 silam. Pesan yang sangat mulia dari seorang tetua yang hendaknya selalu diingat.
 Namun ada sebuah kata-kata yang tertanam jelas dalam ingatan saya, yaitu “Agama Bali”. Kenapa para tetua kita di Bali lebih nyaman menyebut agama yang mereka anut sebagai agama Bali? Dilihat dari sejarah pengakuan keberadaan agama Hindu di Indonesia, harus kita akui bahwa pada awalnya yang diakui hanyalah agama dan kebudayaan yang hanya ada di Bali. Sehingga para pemuka agama di Balipun membentuk perhimpunan yang disebut Parisada Hindu Bali. Namun karena menyadari bahwa Hindu tidak hanya ada di Bali, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia, akhirnya Parisada Hindu Bali berubah nama sebagaimana saat ini, yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
 Hanya saja sudah selayaknya kita kembali bertanya, apakah benar kita adalah penganut Hindu? Ataukah lebih tepat disebut penganut agama Bali atau Hindu Bali? Kenapa saya bertanya seperti itu? Karena pada kenyataannya sampai detik ini, kita sebagai penganut Veda masih terlalu Balisentris. Kita menggunakan tolak ukur penilaian kehinduan berdasarkan parameter-parameter yang diterapkan di Bali. Kita sibuk membangun pura di luar Bali dengan menggunakan bahan-bahan dan arsitektur yang di import dari Bali. Berbagai peralatan upacara, banten dan pemangkunyapun kita import dari Bali. Sering kali kita mengesampingkan budaya setempat dimana disana sebenarnya sudah ada Hindu yang memiliki corak yang berbeda dari Bali. Apakah tindakan kita melakukan Balinisasi Hindu sudah benar?
Implikasi tindakan Balinisasi ini ternyata cukup komplek. Saya pernah mendengarkan keluhan seorang pemuda Hindu Jawa di salah satu pura di Yogyakarta yang intinya mengatakan bahwa dia merasa terasing di daerahnya sendiri. Dimana untuk menjadi Hindu, dia harus mengikuti adat Bali, membuat canang dan peralatan upacara yang tidak sesederhana apa yang diajarkan leluhurnya. Melakukan banyak upacara-upacara dan semuanya itu harus bercermin terhadap masyarakat Bali. Saya yakin bahwasanya masyarakat Hindu di luar Bali yang berpikir seperti itu bukan hanya dia seorang.
 Namun ternyata tanda tanya besar juga muncul dari banyak kalangan orang Bali sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya tentang stastus Hindu mereka. Apakah mereka menjadi Hindu harus mengikuti adat istiadat yang ada di Bali ataukan boleh menggunakan cara lain? Bagaimana tidak, Hindu di Bali memiliki dasar-dasar ajaran yang seolah-olah dapat berdiri sendiri. Hindu di Bali memiliki kitab suci, yaitu Lontar Catur Veda Sirah yang meskipun merupakan turunan dari Narayana Upanisad tapi memberikan pembenaran yang cukup tentang dasar kepercayaan orang Bali. Disamping itu, Hindu Bali juga memiliki lontar-lontar lain yang tidak kalah lengkapnya jika disejajarkan dengan Al-kitab atau Al-Qur’an. Semua upacara-upacara yang berlangsung di Bali didasarkan pada lontar-lontar ini. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang Bali yang beragama Hindu harus melakukan ritual-ritual yang ditetapkan oleh lontar-lontar dan tradisi saat ini? Jawaban pertanyaan ini sangat penting, karena pada kenyataannya saat ini sebagian masyarakat Bali sudah tergerus oleh modernisasi, tuntutan kebutuhan yang semakin berat, rutinitas dan kesibukan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Disaat penghasilan pas-pasan, kebutuhan untuk menyekolahkan anak dan biaya hidup yang tinggi harus bersaing dengan biaya upacara adat yang tidak bisa ditawar-tawar, yang manakah yang harus di dahulukan? Haruskan mereka mengesampingkan pendidikan anak mereka dan mendahulukan upacara agama? Ataukah harus menjual tanah warisan leluhur beserta “turus lumbung” dan pura keluarga yang ada diatasnya kepada para investor non-Hindu yang berani membeli dengan harga tinggi? Sungguh merupakan suatu dilema yang tidak mudah. Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak orang Bali saat ini yang hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri, pantai-pantai indah telah dikuasai inverstor asing dan orang Bali hanya dijadikan “buruh” di kafe-kafe dan hotel-hotel di daerahnya sendiri. Dan yang paling menyedihkan, sangat banyak orang Bali yang mulai berpaling dan berpindah keyakinan hanya karena tidak sanggup mengikuti tuntutan kebutuhan upacara. :: Terdapat aturan yang saya rasa aneh dan sangat urgen diperbaiki dalam sistem adat dan juga mindset orang Bali. Jika kita perhatikan awig-awig/aturan desa adat kita. Maka sebagian besar menetapkan bahwasanya yang menjadi warga desa adat dan yang wajib menyungsung pura dan dengan semua iuran-iuran serta “ayahan (kegiatan gotong royong)” yang menyertainya adalah mereka yang beragama Hindu yang memiliki leluhur yang berasal dari desa adat bersangkutan. Permasalahan akan muncul bagi mereka yang merantau ke luar desa adat bersangkutan dan di daerah tempatnya merantau juga dikenakan iuran serupa. Sehingga mau tidak mau keluarga perantau ini harus menanggung dua beban sekaligus. Jika keluarga perantau ini tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam “ngayah” di desa adat leluhurnya akibat tuntutan pekerjaan atau kewajiban di daerah barunya, maka sering kali warga adat mempergunjingkan mereka dan entah karena sentiment pribadi pernah ada kasus dimana warga perantau ini sampai “kutang banjar (tidak diakui lagi sebagai anggota desa adat)”. Namun ironisnya, para pendatang non-Hindu yang bertempat tinggal di desa adat bersangkutan diterima dengan sangat terbuka dan bahkan warga ini sering kali tidak dibebankan berbagai mancam iuran dan “ayahan” sebagaimana warga desa adat lainnya yang beragama Hindu. Dengan kata lain, meski sama-sama menempati wilayah kekuasaan desa adat yang sama, tapi warga Hindu Bali memiliki beban yang jauh lebih berat dari warga non-Hindu. Jika kasus ini terjadi di desa yang masih homogen, saya kira tidak akan banyak implikasinya dengan tatanan desa adat setempat, tapi bagaimana jika hal ini terjadi di kota seperti di Denpasar dimana populasi penduduk asli dan pendatangnya sebanding? Tidakkah warga Hindu Bali yang “cerdas” akan tergiur keluar dari adat atau menjadi warga non-Hindu agar dapat lepas dari kewajiban-kewajiban desa adat? Toh juga mereka memiliki hak yang sama sebagai warga di sana kan? :m155::m155: Di komplek perumahan tempat teman saya tinggal di Jakarta, setidaknya terdapat 20% warga minoritas yang beragama Kristen, Buddha, Cina dan termasuk teman saya, Hindu dan selebihnya adalah Muslim. Namun yang menarik disini dan saya rasa perlu dicontoh oleh adat di Bali adalah prihal iuaran wajib yang dikenakan ke warga non-muslim. Dalam kartu iuran bulanan RT/RW, disana dengan jelas tertera pengalokasian dana iuran tersebut. Yang sangat mengejutkan, kenapa 30% iuran tersebut dialokasikan untuk kas Musola dan Masjid? Bukankah warga non-Muslim yang jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap tempat ibadah tersebut? Pengalokasian dana tersebut memang disetujui oleh warga non-muslim akibat kegigihan pengurus RT/RW dalam melakukan lobby door to door terhadap warga non-Muslim. Pertanyaannya, tidakkah hal ini dapat diterapkan di Bali untuk mempertahankan eksistensi Hindu Bali dengan desa adatnya? Bukankah dengan penerapan hal seperti ini juga akan meringankan beban iuran warga adat? Jika di komplek perumahan dimana seluruh warganya adalah pendatang baru saja bisa diterapkan, kenapa di Bali yang pada dasarnya seluruh tanah sudah masuk dalam suatu desa adat tertentu secara turun temurun tidak mampu bertindak seperti ini? Apakah karena toleransi? Kenapa hal ini hanya diterapkan kepada non-Hindu? Sementara jika ada warga yang menerapkan ritual Hindu dengan corak yang berbeda dengan yang diterapkan di desa adat sering kali dipergunjingkan dan bahkan ada kalanya mereka dikucilkan. Sampai disini kita sudah dihadapkan dengan 3 problem besar, yaitu prihal bagaimanakah standar wajah Hindu sesungguhnya. Apakah harus seperti yang kita lakukan saat ini? Bagaimana menyikapi gejolak modernisasi dimana kesibukan semakin besar, kebutuhan hidup semakin mahal dan juga biaya upacara adat yang semakin menjadi-jadi? Apakah awig-awig desa adat yang selama ini menjaga keutuhan Hindu di Bali masih relevan, mengingat saat ini ada indikasi awig-awig itu sangat merugikan eksistensi desa adat dan Hindu itu sendiri? Jika kita mengaku sebagai agama Hindu Bali yang eksklusif, saya rasa upacara-upacara adat yang saat ini kita lakukan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena semua itu sudah tertulis dengan jelas dalam lontar-lontar yang kita miliki. Paling-paling yang dapat kita perdebatkan hanyalah prihal upacara yang tergolong nista, madya dan utama saja. Hanya saja untuk upacara adat yang dilakukan saat ini, yang tergolong “kanistaning nista” pun ternyata memakan biaya yang tidak sedikit. Apakah tidak ada yang lebih murah lagi? Untuk membahas hal ini, mari sesaat kita lepas dulu belenggu “nak mulo keto (memang sudah begitu)” dari otak kita. Mari lepaskan jubah “Hindu Bali” kita sesaat, pandanglah Hindu secara gelobal dan mari cari petunjuk-petunjuk ritual Hindu langsung dari sumbernya yang otentik, yaitu sloka-sloka Veda itu sendiri. ̣, Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya”. Jadi dari sloka ini pada dasarnya untuk menyembah Tuhan tidaklah sulit. Yang pertama yang harus kita miliki adalah rasa cinta bhakti yang tulus kepada beliau dan dengan media persembahan hanya berupa daun, bunga, buah atau air saja Beliau sudah menerimanya. Dengan demikian haruskan mempersembahkan persembahan yang mewah dan mahal? disebutkan; “Dalam Namun demikian, saya tidak mengatakan bahwa aturan dan persembahan yang mahal dan mewah yang kita lakukan di Bali salah. Malahan aturan, bebantenan dan sejenisnya itu memiliki nilai yang sangat tinggi dan didalamnya terdapat nilai “rasa” dan kreatifitas yang luar biasa. Namun bagi mereka yang memang benar-benar tidak mampu membuat banten, tidak mampu melakukan upacara-upacara dengan seni dan biaya tinggi bukan berarti tidak bisa menjadi Hindu kan? Bukankah tidak terdapat satu sloka Veda-pun yang mengharuskan kita melakukan yajna dengan biaya tinggi kan? Bahkan dalam Vishnu Purana 6.2.17, Padma Purana Uttara Kanda 72.25 dan Brhan-Naradiya Purana 38.97, disebutkan: “dhyayan krte yajan yajnais tretaram dvapare’rcyam yad apnoti tad apnoti kalau sankirtya kesavam, Pahala kerohanian apapun yang dicapai melalui meditasi pada masa Satya-Yuga, melalui pelaksanaan yajna pada masa Treta-Yuga, dengan memuja Arca-vigraha-Nya pada masa Dvapara-Yuga, pahala serupa juga bisa dicapai pada masa Kali-Yuga hanya dengan mengumandangkan nama-nama suci Kesava. Jadi dari sloka ini, Veda juga membenarkan jika umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan meski hanya dengan mengucapkan nama-nama suci Beliau baik melalui nyanyian (sankirtana) ataupun dengan berjapa. Dengan demikian, haruskan kita mengeluarkan uang jutaan mahkan milyaran rupiah hanya untuk berbagai macam bebantenan? Kenapa uang sebanyak itu tidak digunakan untuk membangun sekolah Hindu, Pasraman dan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia Hindu? Tidak bisakah berbagai macam upacara besar tersebut digantikan dengan sarana yang sederhana dan dengan pelantunan nama-nama suci Tuhan lewat kekidung, geguritan atau palawakya? demi ajeg Bali dan ajeg Hindu dapat kita lakukan? Toh juga jika kita mengaku sebagai agama Hindu, Veda tidak pernah menyalahkan kesederhanaan seperti ini kan?Padahal kalau kita memandang kilas balik budaya Bali ke belakang, sesungguhnya wajah budaya Bali 100 tahun yang lalu sangat berbeda dengan yang ada saat ini. Pergerakan budaya Bali sangatlah dinamis. Cara berpakaian orang Bali jaman dulu dengan sekarang jauh berbeda, jika dulu ke pura hanya dengan menggunakan kain jarik dan bertelanjang dada, sekarang kita telah menggunakan jas safari. Buah-buahan persembahan yang dulu menggunakan hasil pertanian setempat, sekarang sudah digantikan dengan berbagai buah-buahan import yang mahal. Pawai ogoh-ogoh baru tercipta pada tahun 80-an dan berbagai arsitektur tempat sucipun telah mengalami modernisasi. Melihat dari kenyataan ini dan dengan didorong oleh tekanan modernisasi yang menerjang Bali, tidakkan evolusi budaya dengan perubahan pola pikir, kebiasaan dan upacara yang mengarah pada by : Narayana_Das

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BABAD PURA PUSEH PANJINGAN